Dakwah terdiri dari dua segi yang
tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan, yaitu menyangkut isi dan
bentuk, subtansi dan forma, pesan dan cara penyampaiannya, esensi dan metode.
Dakwah menyangkut kedua-duanya sekaligus dan tidak terpisahkan. Hanya saja,
perlu disadari bahwa isi, substansi, pesan, dan esensi senantiasa mempunyai
dimensi universal, yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini
subtansi dakwah adalah pesan keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam
dakwah. Sisi kedua meskipun tidak kurang pentingnya dalam dakwah, yakni sisi
bentuk, forma, cara penyampaian dan metode, disebutkan dalam Al-Quran sebagai minhaj
yang dapat berbeda-beda menurut tuntutan ruang dan waktu.[1]
Dalam rangka menegakkan dakwah
sehingga ajaran Islam diketahui, dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh umat
diperlukan juru dakwah yang berkualitas. Juru dakwah tersebut sejatinya adalah
orang yang mengerti hakikat Islam dan mengetahui apa yang sedang berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Kesuksesan kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh
kualitas dan kepribadian seorang da’i. Dengan kualitas yang dimiliki
seorang da’i, maka ia akan mendapatkan kepercayaan (kredibilitas) serta
citra yang positif di mata mad’u baik individu atau masyarakat.[2]
Tulisan dan bacaan adalah
media dakwah yang tidak kurang vitalnya dari angkatan Mujahidin dan Mubalighin
yang bergerak dan bertindak setiap masa ke segala pelosok dunia dan masyarakat
manusia, membuka hati masyarakat, merebut masyarakat dari genggaman dan
belenggu faham dan aliran luar Islam. Menyampaikan suara dan seruan Islam
melalui tulisan dan bacaan, dengan cara rapi dan teratur, itulah salah satu
aspek Dakwah Islamiyah yang kurang
mendapat perhatian secara sungguh dan penuh.[3]
Fenomena sosial aktual dan realitas
yang terjadi menjadi hal yang selalu harus difahami oleh seorang mubaligh.
Melihat tabligh sebagai upaya untuk memodifikasi realitas sosial yang
tidak Islami kepada nilai ajaran Allah SWT, maka tabligh memiliki arti
yang sangat dominan dalam kehidupan manusia. Tabligh bisa dilakukan
dengan lisan atau ucapan bisa pula melalui tulisan bahkan dengan perilaku mubaligh, yang jelas tabligh
adalah upaya menyampaikan pesan Islam kepada masyarakat.
Tabligh melalui media cetak (tulisan) disebut dengan kitabah,
yaitu proses penyampaian ajaran Islam melalui bahasa tulisan bisa berupa buku,
majalah, jurnal, surat kabar, pamflet, brosur yang berisi pesan-pesan Islam.
Termasuk di dalamnya bentuk-bentuk media cetak lain seperti, lukisan, kaligrafi
yang mengandung pesan-pesan keIslaman atau menggugah rasa simpatik terhadap
nilai-nilai keIslaman.[4]
Dakwah melalui tulisan (kitabah)
harus dilakukan agar pesan dakwah dapat disebarkan lebih luas dan lebih tahan
lama. Para da’i harus mulai memberikan perhatian yang serius terhadap
dakwah tulisan agar umat mendapatkan rujukan yang memadai tentang keilmuan Islam.
Menulis merupakan kegiatan yang bisa menghadirkan kepuasan diri karena bisa
berekspresi diri, melontar gagasan, mencerdaskan masyarakat, bahkan
mendatangkan pahala dari Allah swt, ketika lewat tulisan kita bisa mengemukakan
kebenaran dan melakukan amar ma’ruf nahyi munkar disertai niat ikhlas[5].
Menurut Asep Saepul Muhtadi, tidak
sedikit orang kaya ilmu pengetahuan, tapi tidak mengikatnya dengan tulisan.
Suatu saat, ia akan hilang seiring hilangnya usia. Gagasan-gagasannya akan
terlupakan bersama perjalanan waktu. Namanya pun akan berakhir dimakan zaman.[6]
Tidak sedikit di antara para da’i
yang pandai memukau ribuan khalayak di atas mimbar, tapi begitu sulit
menuangkan isi ceramahnya ke dalam bentuk tulisan. Atau, kalaupun berhasil
menuliskannya, banyak di antara mereka yang karya tulisnya itu jauh lebih
“jelek” bila dibandingkan dengan gaya dan bahasa ceramah yang biasa disampaikannya.
Bahasa lisan di atas mimbar memang berbeda dengan bahasa tulis yang biasa kita
baca di berbagai media cetak. Sekurang-kurangnya, karya tulis yang tidak
mengikuti kaidah-kaidah bahasa tulis, tidak akan enak dibaca, meskipun isi yang
dituliskannya dianggap perlu.[7]
Harus ada koordinasi antara lisan dan
tulisan, antara pena dan pidato. Harus ada kerjasama dan bantu-membantu antara
pengarang dan ahli imbar, antara lidah dan tinta. Masyarakat membutuhkan
kedua-duanya. Kuping dan mata meminta pelayanan yang seimbang.[8]
Setiap penulis dakwah berupaya untuk
menuangkan pikiran, gagasan, maksud dengan memakai kata-kata terpilih. Bahasa
tulisan dakwah sama halnya dengan bahasa jurnalistik, yaitu bahasa komunikasi
masa yang digunakan dalam majalah, surat kabar, televisi atau radio. Bahasa
jurnalistik tidak berbeda dengan bahasa tulisan umumnya. Karena itu, aturan
dalam bahasa Indonesia adalah aturan yang perlu dipatuhi oleh penulis dakwah.[9]
Pesan yang disampaikan mubaligh
disampaikan melalui bahasa. Bahasa yang baik dalam proses tabligh adalah
bahasa yang efektif, yang digunakan sesuai dengan bahasa mubalagh, situasi dan
kondisi. Sehingga bahasa tersebut bisa menghantarkan terjadinya kesepahaman
antara mubaligh dan mubalagh. Dalam tulisan, pemilihan bahasa
sangat ditentukan pada pemilihan sasaran pembaca. Pembaca yang berasal dari
daerah akan lebih memahami pesan yang menggunakan bahasa daerah. Oleh karena
itu penting bagi penulis memperhatikan aspek bahasa yang aka digunakannya. Jika
tidak diperhatikan maka bahasa bisa menjadi hambatan, yang kemudian dikenal
dengan hambatan semantis.
Gaya (style) bahasa merupakan
bentuk atau cara seseorang menggunakan kata merangkainya menjadi kalimat. Bagi
penulis, gaya bahasa meliputi semua faktor yang menentukan bahasa. Gaya bahasa
tidak jauh dengan gaya bicara, berpakaian, berjalan, dan sebagainya. Jika
diperhatikan dengan seksama, maka akan ditemukan sesuatu yang khas dari tiap
orang, yang sedikit atau banyak berbeda dengan orang lain[10].
Objek yang dapat ditulis oleh para penulis
dakwah sangatlah luas. Di samping aspek penulisan dan bahasa, penulisan yang
baik dibangun melalui penataan gagasan, alur penalaran, memperkokoh gagasan
dengan fakta, dalil, teori atau yang lainnya. Pesan dakwah adalah al-Islam (Al-Quran
dan Al-Sunnah) tentang berbagai soal prikehidupan dan penghidupan manusia[11].
Tulisan yang baik sangat dipengaruhi oleh
kekayaan ide yang dimiliki penulis. Ide harus mendapatkan perhatian yang serius
untuk pengayaan dan pengembangannya. Pada umumnya penulis yang baik adalah
penulis yang selalu peka dan gelisah, artinya ia akan merasa sedih dan dadanya
bergemuruh ketika melihat masalah-masalah yang menyimpang dari hati nuraninya[12].
Dengan kepiawaian penulis menangkap ide dari setiap situasi dan kondisi, maka
hal ini merupakan modal yang amat berharga untuk melahirkan banyak karya
berkualitas.
Secara umum proses menulis diawali dengan
penggalian ide, kemudian dilanjutkan dengan pengujian ide, membuat kerangka
tulisan, mengumpulkan referensi, menulis karya dan penyuntingan tulisan. Bagi
penulis yag telah mahir, proses menulis akan lebih mudah diakukan dibanding
dengan para penulis pemula.
Amrullah Ahmad dalam Dasar-dasar
Ilmu Dakwah membagi tujuan dakwah pada dua garis besar, yaitu tujuan jangka
pendek (mikro) dan tujuan jangka panjang (makro). Dakwah haruslah diarahkan
pada pembentukan masyarakat baru. Masyarakat yang kapitalis sekularistik diubah
menjadi masyarakat Islam.[13]
Tujuan dakwah secara umum adalah mengubah perilaku sasaran dakwah agar
mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam dataran kenyataan kehidupan
sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga, maupun
sosial kemasyarakatannya, agar terdapat kehidupan yang penuh dengan keberkahan samawi
dan keberkahan ardhi (al-‘Araf: 96), mendapat kebaikan dunia dan
akhirat, serta terbebas dari adzab neraka (al-Baqarah: 202).[14]
[1] Asep Muhyidin
dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah. (Bandung: Pustaka
Setia,2002), hlm. 25-27.
[2] Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu
Dakwah Pendekatan Filosofis dan Praktis,
(Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 120.
[3] M Isa
Anshary, loc.cit., hlm. 40.
[4] Ibid., hlm. 60.
[5] Lihat
Asep Syamsul M. Romli, Lincah Menulis
Pandai Bicara, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2009), hlm. 13-14
[6] Aep
Kusnawan, Berdakwah Lewat Tulisan, (Bandung: Mujahid Press, 2004), cet.
II, hlm. 11.
[7] Ibid., hlm.
15.
[8] Isa Anshary, op.cit., hlm. 38.
[9] Aep
Kusnawan, op.cit., hal, 116.
[10] Ibid., hlm.
121-122.
[11] Enjang AS
dan Aliyudin, op.cit., hlm. 80.
[12] Aep
Kusnawan. op.cit., hlm. 202.
[13] Enjang AS
dan Aliyudin, op.cit., hlm. 99.
[14] Didin Hafidhuddin, op.cit., hlm. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar