Rabu, 04 April 2012

Menulis Membimbing Ummat

by Fajar Burnama

Dakwah terdiri dari dua segi yang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan, yaitu menyangkut isi dan bentuk, subtansi dan forma, pesan dan cara penyampaiannya, esensi dan metode. Dakwah menyangkut kedua-duanya sekaligus dan tidak terpisahkan. Hanya saja, perlu disadari bahwa isi, substansi, pesan, dan esensi senantiasa mempunyai dimensi universal, yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini subtansi dakwah adalah pesan keagamaan itu sendiri, itulah sisi pertama dalam dakwah. Sisi kedua meskipun tidak kurang pentingnya dalam dakwah, yakni sisi bentuk, forma, cara penyampaian dan metode, disebutkan dalam Al-Quran sebagai minhaj yang dapat berbeda-beda menurut tuntutan ruang dan waktu.[1]
Dalam rangka menegakkan dakwah sehingga ajaran Islam diketahui, dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh umat diperlukan juru dakwah yang berkualitas. Juru dakwah tersebut sejatinya adalah orang yang mengerti hakikat Islam dan mengetahui apa yang sedang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kesuksesan kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh kualitas dan kepribadian seorang da’i. Dengan kualitas yang dimiliki seorang da’i, maka ia akan mendapatkan kepercayaan (kredibilitas) serta citra yang positif di mata mad’u baik individu atau masyarakat.[2]
Tulisan dan bacaan adalah media dakwah yang tidak kurang vitalnya dari angkatan Mujahidin dan Mubalighin yang bergerak dan bertindak setiap masa ke segala pelosok dunia dan masyarakat manusia, membuka hati masyarakat, merebut masyarakat dari genggaman dan belenggu faham dan aliran luar Islam. Menyampaikan suara dan seruan Islam melalui tulisan dan bacaan, dengan cara rapi dan teratur, itulah salah satu aspek Dakwah Islamiyah yang kurang mendapat perhatian secara sungguh dan penuh.[3]
Fenomena sosial aktual dan realitas yang terjadi menjadi hal yang selalu harus difahami oleh seorang mubaligh. Melihat tabligh sebagai upaya untuk memodifikasi realitas sosial yang tidak Islami kepada nilai ajaran Allah SWT, maka tabligh memiliki arti yang sangat dominan dalam kehidupan manusia. Tabligh bisa dilakukan dengan lisan atau ucapan bisa pula melalui tulisan bahkan dengan perilaku  mubaligh, yang jelas tabligh adalah upaya menyampaikan pesan Islam kepada masyarakat.
Tabligh melalui media cetak (tulisan) disebut dengan kitabah, yaitu proses penyampaian ajaran Islam melalui bahasa tulisan bisa berupa buku, majalah, jurnal, surat kabar, pamflet, brosur yang berisi pesan-pesan Islam. Termasuk di dalamnya bentuk-bentuk media cetak lain seperti, lukisan, kaligrafi yang mengandung pesan-pesan keIslaman atau menggugah rasa simpatik terhadap nilai-nilai keIslaman.[4]
Dakwah melalui tulisan (kitabah) harus dilakukan agar pesan dakwah dapat disebarkan lebih luas dan lebih tahan lama. Para da’i harus mulai memberikan perhatian yang serius terhadap dakwah tulisan agar umat mendapatkan rujukan yang memadai tentang keilmuan Islam. Menulis merupakan kegiatan yang bisa menghadirkan kepuasan diri karena bisa berekspresi diri, melontar gagasan, mencerdaskan masyarakat, bahkan mendatangkan pahala dari Allah swt, ketika lewat tulisan kita bisa mengemukakan kebenaran dan melakukan amar ma’ruf nahyi munkar disertai niat ikhlas[5].
Menurut Asep Saepul Muhtadi, tidak sedikit orang kaya ilmu pengetahuan, tapi tidak mengikatnya dengan tulisan. Suatu saat, ia akan hilang seiring hilangnya usia. Gagasan-gagasannya akan terlupakan bersama perjalanan waktu. Namanya pun akan berakhir dimakan zaman.[6]
Tidak sedikit di antara para da’i yang pandai memukau ribuan khalayak di atas mimbar, tapi begitu sulit menuangkan isi ceramahnya ke dalam bentuk tulisan. Atau, kalaupun berhasil menuliskannya, banyak di antara mereka yang karya tulisnya itu jauh lebih “jelek” bila dibandingkan dengan gaya dan bahasa ceramah yang biasa disampaikannya. Bahasa lisan di atas mimbar memang berbeda dengan bahasa tulis yang biasa kita baca di berbagai media cetak. Sekurang-kurangnya, karya tulis yang tidak mengikuti kaidah-kaidah bahasa tulis, tidak akan enak dibaca, meskipun isi yang dituliskannya dianggap perlu.[7]
Harus ada koordinasi antara lisan dan tulisan, antara pena dan pidato. Harus ada kerjasama dan bantu-membantu antara pengarang dan ahli imbar, antara lidah dan tinta. Masyarakat membutuhkan kedua-duanya. Kuping dan mata meminta pelayanan yang seimbang.[8]
Setiap penulis dakwah berupaya untuk menuangkan pikiran, gagasan, maksud dengan memakai kata-kata terpilih. Bahasa tulisan dakwah sama halnya dengan bahasa jurnalistik, yaitu bahasa komunikasi masa yang digunakan dalam majalah, surat kabar, televisi atau radio. Bahasa jurnalistik tidak berbeda dengan bahasa tulisan umumnya. Karena itu, aturan dalam bahasa Indonesia adalah aturan yang perlu dipatuhi oleh penulis dakwah.[9]
Pesan yang disampaikan mubaligh disampaikan melalui bahasa. Bahasa yang baik dalam proses tabligh adalah bahasa yang efektif, yang digunakan sesuai dengan bahasa mubalagh, situasi dan kondisi. Sehingga bahasa tersebut bisa menghantarkan terjadinya kesepahaman antara mubaligh dan mubalagh. Dalam tulisan, pemilihan bahasa sangat ditentukan pada pemilihan sasaran pembaca. Pembaca yang berasal dari daerah akan lebih memahami pesan yang menggunakan bahasa daerah. Oleh karena itu penting bagi penulis memperhatikan aspek bahasa yang aka digunakannya. Jika tidak diperhatikan maka bahasa bisa menjadi hambatan, yang kemudian dikenal dengan hambatan semantis.
Gaya (style) bahasa merupakan bentuk atau cara seseorang menggunakan kata merangkainya menjadi kalimat. Bagi penulis, gaya bahasa meliputi semua faktor yang menentukan bahasa. Gaya bahasa tidak jauh dengan gaya bicara, berpakaian, berjalan, dan sebagainya. Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan ditemukan sesuatu yang khas dari tiap orang, yang sedikit atau banyak berbeda dengan orang lain[10].
Objek yang dapat ditulis oleh para penulis dakwah sangatlah luas. Di samping aspek penulisan dan bahasa, penulisan yang baik dibangun melalui penataan gagasan, alur penalaran, memperkokoh gagasan dengan fakta, dalil, teori atau yang lainnya. Pesan dakwah adalah al-Islam (Al-Quran dan Al-Sunnah) tentang berbagai soal prikehidupan dan penghidupan manusia[11].
Tulisan yang baik sangat dipengaruhi oleh kekayaan ide yang dimiliki penulis. Ide harus mendapatkan perhatian yang serius untuk pengayaan dan pengembangannya. Pada umumnya penulis yang baik adalah penulis yang selalu peka dan gelisah, artinya ia akan merasa sedih dan dadanya bergemuruh ketika melihat masalah-masalah yang menyimpang dari hati nuraninya[12]. Dengan kepiawaian penulis menangkap ide dari setiap situasi dan kondisi, maka hal ini merupakan modal yang amat berharga untuk melahirkan banyak karya berkualitas.
 Secara umum proses menulis diawali dengan penggalian ide, kemudian dilanjutkan dengan pengujian ide, membuat kerangka tulisan, mengumpulkan referensi, menulis karya dan penyuntingan tulisan. Bagi penulis yag telah mahir, proses menulis akan lebih mudah diakukan dibanding dengan para penulis pemula.
Amrullah Ahmad dalam Dasar-dasar Ilmu Dakwah membagi tujuan dakwah pada dua garis besar, yaitu tujuan jangka pendek (mikro) dan tujuan jangka panjang (makro). Dakwah haruslah diarahkan pada pembentukan masyarakat baru. Masyarakat yang kapitalis sekularistik diubah menjadi masyarakat Islam.[13] 
Tujuan dakwah secara umum adalah mengubah perilaku sasaran dakwah agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam dataran kenyataan kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga, maupun sosial kemasyarakatannya, agar terdapat kehidupan yang penuh dengan keberkahan samawi dan keberkahan ardhi (al-‘Araf: 96), mendapat kebaikan dunia dan akhirat, serta terbebas dari adzab neraka (al-Baqarah: 202).[14]


[1]  Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah. (Bandung: Pustaka Setia,2002), hlm. 25-27.
[2] Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah Pendekatan Filosofis dan Praktis,   (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 120.
[3]  M Isa Anshary, loc.cit., hlm. 40.

[4]   Ibid., hlm. 60.
[5]  Lihat Asep  Syamsul M. Romli, Lincah Menulis Pandai Bicara, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2009), hlm. 13-14
[6]  Aep Kusnawan, Berdakwah Lewat Tulisan, (Bandung: Mujahid Press, 2004), cet. II, hlm. 11.
[7]  Ibid., hlm. 15.
[8]  Isa Anshary, op.cit., hlm. 38.
[9]  Aep Kusnawan, op.cit., hal, 116.
[10]  Ibid., hlm. 121-122.
[11]  Enjang AS dan Aliyudin, op.cit., hlm. 80.
[12]  Aep Kusnawan. op.cit., hlm. 202.
[13]  Enjang AS dan Aliyudin, op.cit., hlm. 99.
[14]  Didin Hafidhuddin, op.cit., hlm. 78.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar