Rabu, 04 April 2012

Para da'i Menulislah!

by Fajar Burnama

Islam merupakan agama yang diridhai oleh Allah SWT[1]. Secara theologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah, dan karena itu sekaligus bersifat transenden[2]. Memang secara harfiah, salah satu arti dari kata Islam adalah tunduk, patuh, ikhlas, tetapi maksudnya adalah tunduk, patuh dan ikhlas akan segala ketentuan ajaran-Nya[3]. Islam itu ibarat Ratu Adil yang menjadi tumpuan harapan manusia. Ia harus mengangkat manusia dari kehinaan menjadi mulia, menunjuki manusia yang tersesat jalan, membebaskan manusia dari semua macam kezaliman, melepaskan manusia dari rantai perbudakan, memerdekakan manusia dari kemiskinan rohani dan materi, dan sebagainya. Tugas Islam memberikan dunia hari depan yang cerah dan penuh harapan. Munusia akhirnya merasakan nikmat dan bahagia karena Islam.[4]
Dari sudut sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas osial dalam kehidupan manuia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan menjagatraya (universal), tetapi juga mengejawantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu.[5] Islam merupakan sistem, cara hidup atau way of life manusia. Sistem-sistem Islam dan cara-cara hidup secara Islam adalah berbeda dengan seribu sistem dan cara hidup (way of life) yang ada di dunia ini, suatu sistem dan cara hidup yang berbeda dengan kapitalisme, tidak serupa dengan sosialisme, dan sangat bertentangan dengan komunisme, dan tidak ada persamannya dengan isme dan way of life mana pun[6].
Konsekuensi dari keharusan terwujudnya risalah Islam, maka setiap pemeluk Islam memikul tanggung jawab bekerja dan memperjuangkannya. Hendaklah Islam itu menjadi cita-cita hidup dan memperjuangkannya. Hendaklah Islam menjadi program hidup untuk menerapkannya menjadi akidah manusia, menjadi hukum dan kode etik dalam perjuangan hidup, dan hendaklah Islam menjadi way of life manusia. Tugas dan kewajiban yang demikian dinamakan jihad, artinya perjuangan suci, atau dengan istilah dakwah yaitu usaha mengubah situasi yang belum Islam ke dalam situasi yang Islamis.[7]
Menurut Amrullah Achmad, pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan daam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia, pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural, dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia, dengan menggunakan cara tertentu.[8]
Dakwah sangat dibutuhkan umat untuk mampu menjalankan ajaran Islam dengan sempurna. Ketika kita berdakwah harus mengetahui tujuan yang pasti, karena dengan mengetahui tujuan, maka kegiatan dakwah kita akan lebih terarah dan efektif. Kita harus mencontoh dakwah yang telah dengan gemilang dilakukan oleh pendahulu kita, terutama Rasulullah SAW. Dakwah bertujuan untuk menyelamatkan umat dari kehancuran dan untuk mewujudkan cita-cita ideal masyarakat utama[9].
Sedangkan menurut Syukriadi Sambas hakikat dakwah dapat dilihat:[10]
1.    Sebagai suatu kewajiban mengajak manusia ke jalan Tuhan dengan cara hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah yang ahsan.
2.    Mengajak kepada Allah dengan cara ahsanu ‘amalan dengan terlebih dahulu membuktikan dirinya (da’i) sebagai pelaksana pesan dakwah.
Islam sebagai pesan dakwah tidak akan pernah sampai pada mad’u tanpa adanya metode. Dengan demikian metode merupakan sesuatu yang menghubungkan pesan antara da’i dan mad’u. Wujud sesuatu itu pada hakikatnya ialah gerak dari instrumen yang ada dalam diri da’i berupa aktivitas, yaitu lisan dan badan.[11]
Kegiatan dakwah yang seringkali dipahami oleh masyarakat awam ataupun sebagian masyarakat terdidik sebagai sebuah kegiatan yang sangat praktis. Sehingga pemahaman mereka tentang dakwah sama dengan khithabah atau ceramah, yaitu suatu kegiatan penyampaian ajaran Islam secara lisan di atas mimbar. Maka kegiatan dakwah itu hanya dilakukan di majelis-majelis ta’lim, masjid-masjid dan mimbar-mimbar keagamaan. Meski hal itu tidak sepenuhnya keliru, namun sangat penting untuk diluruskan. Kegiatan tabligh hanya merupakan sebagian bentuk kegiatan dakwah, terdapat bentuk atau hal lain yang bisa dilakukan dalam berdakwah, yaitu: irsyad (bimbingan penyuluhan), tadbir (manajemen), dan tathwir (pengembangan masyarakat).
Di masa kini, umat terasa lebih akrab dengan dakwah lisan bahkan seolah-olah dakwah adalah melalui lisan, padahal dakwah lisan hanya bagian kecil dari kompleksitas kegiatan dakwah Islam. Dakwah tulisan (kitabah) adalah salah satu yang kurang mendapat perhatian, baik oleh para mubaligh terlebih oleh umat. Jika hal ini terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin umat di masa depan akan kesulitan mencari rujukan untuk melaksanakan ajaran Islam. Kekuasaan dan kemampuan untuk berbahasa, berbicara, menulis, dan memberikan nama terhadap beberapa benda, merupakan kelebihan khusus yang dimiliki manusia, yang telah diciptakan Allah dari tanah dan telah diserahkan kepadanya kunci-kunci rumahnya yang baru di muka bumi[12].
Berbahagialah suatu masyarakat yang mempunyai pemimpin yang mahir berpidato dan mahir menulis. Lebih berbahagia lagi orang itu sendiri, yang berkumpul dalam dirinya kecakapan lisan dan kemahiran tulisan. Lidah yang mahir serta pena yang lancar serta tangkas dapat dipergunakan untuk berbakti pada agama dan bangsanya, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, menyebarkan kebenaran.[13]
Dalam ranah tabligh yaitu dakwah bi al-lisan seorang da’i melakukan dakwahnya melalui ekspresi pemikiran yang berdasarkan pada sumber rujukan dakwah berupa Al-Quran dan As-Sunnah secara langsung atau pun tidak langsung terhadap mad’unya. Fenomena sosial aktual dan realitas yang terjadi menjadi hal yang selalu harus digeluti oleh seorang mubaligh. Melihat tabligh sebagai upaya untuk memodifikasi realitas sosial yang tidak Islami kepada nilai ajaran Allah SWT, maka tabligh memiliki arti yang sangat dominan dalam kehidupan manusia.
Kini, banyak mubaligh yang dengan intens melaksanakan kegiatan tabligh sebagai salah satu metode dakwah. Setiap momentum dimanfaatkan untuk menyebarkan shibghah Islam kepada umat. Para khatib Jum’at misalnya, menyampaikan materi keimananan dan keislaman yang beragam dalam setiap khutbahnya. Pondok pesantren terus mengajari santri tentang ilmu Islam. Bahkan berbagai media informasi juga dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai Islam.
Para mubaligh sebaiknya jangan sampai lebih senang mengumpulkan banyak santri dan membangun pesantren yang megah daripada membuat karya yang bisa menjadi rujukan para pengikutnya sepanjang masa. Kini, marak terjadi ketika seorang kiyai pimpinan sebuah pesantren meninggal dunia, maka berakhir pula dakwahnya karena beliau tidak memiliki karya tulis yang bisa terus membimbing pengikutnya. Karena Islam tidak lepas dari sumber rujukan berupa kitab-kitab yang merupakan hasil karya para ulama pendahulu, maka sejatinya kita mesti menyuburkan budaya menulis untuk membimbing umat menuju cahaya Islam. Pemikiran-pemikiran dakwah tidak hanya disebarkan secara lisan yang terbatas jangkauan dan usianya, tapi juga dalam bentuk tulisan yang lebih luas jangkauannya dan lebih panjang umurnya. Adanya Surat aal-Qalam dan perintah membaca (Iqra’) dalam Kitab Suci Al-Quran menjelaskan betapa pentingnya arti dan fungsi tulisan dan bacaan bagi manusia Islam[14].
Dakwah dengan tulisan masih menjadi tantangan untuk para da’i, tulisan dianggap menjadi metode dan media yang lebih kuat bertahan dibandingkan dakwah dengan lisan. Bukan berarti dakwah dengan lisan harus ditinggalkan, namun sebaliknya, kita tinggal melangkah satu langkah untuk menulis konsep dakwah yang akan disampaikan dengan lisan ke dalam sebuah tulisan, dengan begitu kita sudah mendapatkan dua media, dengan lisan dan tulisan.
Al-Quran sebagai kitab dakwah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, untuk ditulis meski di atas pelepah daun kurma, tulang-belulang, dan media lainnya. Pada saat banyak penghapal Al-Quran gugur di medan jihad, maka Umar ibn Khattab berpendapat bahwa Al-Quran harus segera dibukukan agar umat tidak kehilangan kitab petunjuk kehidupannya. Akhirnya Al-Quran dibukukan secara utuh pada masa khalifah Utsman bin Affan RA, dengan membentuk tim pembukuan Al-Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit RA. Sehingga Al-Quran tetap terjaga keasliannya sepanjang masa.
Berbeda dengan Al-Quran, hadits baru dibukukan selepas masa khulafaurrasyidin yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sepeninggal Rasulullah banyak yang membuat hadits palsu (maudzu) yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari hadits shahih. Atas jasa para ulama hadits, seperti Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasai, Al-Turmudzi  dan lainnya yang mengumpulkan dan mengelompokkan hadits dan membukukannya, kini umat bisa mengetahui mana hadits yang shahih dan tidak.
Ditambah lagi gairah berkarya para ulama terdahulu dengan dilahirkannya kitab-kitab fiqh, hadits, tafsir, serta ilmu-ilmu Islam lainnya, kini umat Islam bisa menikmati cahaya petunjuk Islam. Meski kita tidak berjumpa dengan Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’i al-tabi’in, para ulama mataqoddimin juga para ulama kontemporer yang telah wafat, tapi dengan adanya kitab-kitab karya mereka kita bisa mempelajari dan mengikuti pemikiran dan dakwah mereka.
Kurangnya model tulisan dakwah menjadi permasalahan yang sangat penting bagi para mubaligh yang ingin berdakwah melalui tulisan. Penggunaan bahasa tulisan tidak sama dengan bahasa tutur dalam berdakwah. Contoh atau model tulisan dakwah yang memiliki kualitas yang baik sangat dibutuhkan sebagai rujukan bagi pada mubaligh. Pemilihan sasaran pembaca merupakan hal yang harus diperhatikan, karena akan menentukan model tulisan dakwah yang dibuat. Pemilihan bahasa, struktur dan komponen kebahasaan yang tepat juga menentukan kualitas tulisan dakwah.


[1] Lihat QS. Ali Imran ayat 19, artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
[2] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. i.
[3] Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 64.
[4] Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Alma’arif, 1973), hlm. 103.
[5] Azyumardi Azra, loc.cit.,
[6] Ibid., hlm. 106.
[7] Ibid., hlm. 106-107.
[8]    Didin Hafidhuddin, op.cit., hlm. 67-68.
[9]    Ibid., hlm. 72.
[10]  Agus Ahmad Safei, Memimpin Dengan Hati yang Selesai, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 118-119
[11]   Ibid., hlm. 172.
[12]    Ahmad Bahjat, Akulah Tuhanmu, Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 228.
[13]  Isa Anshary, Mujahid Dakwah, (Bandung: Dipenogoro, 1995), cet V. hlm. 36.
[14]   Ibid., hlm. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar