Islam merupakan agama yang diridhai
oleh Allah SWT[1]. Secara theologis, Islam
adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah, dan karena itu sekaligus
bersifat transenden[2]. Memang secara harfiah,
salah satu arti dari kata Islam adalah tunduk, patuh, ikhlas, tetapi maksudnya
adalah tunduk, patuh dan ikhlas akan segala ketentuan ajaran-Nya[3]. Islam
itu ibarat Ratu Adil yang menjadi tumpuan harapan manusia. Ia harus mengangkat
manusia dari kehinaan menjadi mulia, menunjuki manusia yang tersesat jalan,
membebaskan manusia dari semua macam kezaliman, melepaskan manusia dari rantai
perbudakan, memerdekakan manusia dari kemiskinan rohani dan materi, dan
sebagainya. Tugas Islam memberikan dunia hari depan yang cerah dan penuh
harapan. Munusia akhirnya merasakan nikmat dan bahagia karena Islam.[4]
Dari sudut sosiologis, Islam merupakan
fenomena peradaban, kultural dan realitas osial dalam kehidupan manuia. Islam
dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan
menjagatraya (universal), tetapi juga mengejawantahkan diri dalam
institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan
waktu.[5] Islam
merupakan sistem, cara hidup atau way of life manusia. Sistem-sistem Islam
dan cara-cara hidup secara Islam adalah berbeda dengan seribu sistem dan cara
hidup (way of life) yang ada di dunia ini, suatu sistem dan cara hidup
yang berbeda dengan kapitalisme, tidak serupa dengan sosialisme, dan sangat
bertentangan dengan komunisme, dan tidak ada persamannya dengan isme dan way
of life mana pun[6].
Konsekuensi dari keharusan terwujudnya
risalah Islam, maka setiap pemeluk Islam memikul tanggung jawab bekerja dan
memperjuangkannya. Hendaklah Islam itu menjadi cita-cita hidup dan
memperjuangkannya. Hendaklah Islam menjadi program hidup untuk menerapkannya
menjadi akidah manusia, menjadi hukum dan kode etik dalam perjuangan hidup, dan
hendaklah Islam menjadi way of life manusia. Tugas dan kewajiban yang
demikian dinamakan jihad, artinya perjuangan suci, atau dengan istilah
dakwah yaitu usaha mengubah situasi yang belum Islam ke dalam situasi yang
Islamis.[7]
Menurut Amrullah Achmad, pada
hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan daam
suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang
dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap,
dan bertindak manusia, pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural,
dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan
manusia, dengan menggunakan cara tertentu.[8]
Dakwah sangat dibutuhkan umat untuk
mampu menjalankan ajaran Islam dengan sempurna. Ketika kita berdakwah harus
mengetahui tujuan yang pasti, karena dengan mengetahui tujuan, maka kegiatan
dakwah kita akan lebih terarah dan efektif. Kita harus mencontoh dakwah yang
telah dengan gemilang dilakukan oleh pendahulu kita, terutama Rasulullah SAW. Dakwah
bertujuan untuk menyelamatkan umat dari kehancuran dan untuk mewujudkan
cita-cita ideal masyarakat utama[9].
Sedangkan menurut Syukriadi Sambas
hakikat dakwah dapat dilihat:[10]
1. Sebagai suatu kewajiban mengajak manusia ke jalan
Tuhan dengan cara hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah yang ahsan.
2. Mengajak kepada Allah dengan cara ahsanu
‘amalan dengan terlebih dahulu membuktikan dirinya (da’i) sebagai
pelaksana pesan dakwah.
Islam sebagai pesan dakwah tidak akan
pernah sampai pada mad’u tanpa adanya metode. Dengan demikian metode
merupakan sesuatu yang menghubungkan pesan antara da’i dan mad’u.
Wujud sesuatu itu pada hakikatnya ialah gerak dari instrumen yang ada dalam
diri da’i berupa aktivitas, yaitu lisan dan badan.[11]
Kegiatan dakwah yang seringkali
dipahami oleh masyarakat awam ataupun sebagian masyarakat terdidik sebagai
sebuah kegiatan yang sangat praktis. Sehingga pemahaman mereka tentang dakwah
sama dengan khithabah atau ceramah, yaitu suatu kegiatan penyampaian
ajaran Islam secara lisan di atas mimbar. Maka kegiatan dakwah itu hanya
dilakukan di majelis-majelis ta’lim, masjid-masjid dan mimbar-mimbar keagamaan.
Meski hal itu tidak sepenuhnya keliru, namun sangat penting untuk diluruskan.
Kegiatan tabligh hanya merupakan sebagian bentuk kegiatan dakwah,
terdapat bentuk atau hal lain yang bisa dilakukan dalam berdakwah, yaitu: irsyad
(bimbingan penyuluhan), tadbir (manajemen), dan tathwir (pengembangan
masyarakat).
Di masa kini, umat terasa lebih akrab
dengan dakwah lisan bahkan seolah-olah dakwah adalah melalui lisan, padahal
dakwah lisan hanya bagian kecil dari kompleksitas kegiatan dakwah Islam. Dakwah
tulisan (kitabah) adalah salah satu yang kurang mendapat perhatian, baik
oleh para mubaligh terlebih oleh umat. Jika hal ini terus berlangsung,
maka bukan tidak mungkin umat di masa depan akan kesulitan mencari rujukan
untuk melaksanakan ajaran Islam. Kekuasaan dan kemampuan untuk berbahasa,
berbicara, menulis, dan memberikan nama terhadap beberapa benda, merupakan
kelebihan khusus yang dimiliki manusia, yang telah diciptakan Allah dari tanah
dan telah diserahkan kepadanya kunci-kunci rumahnya yang baru di muka bumi[12].
Berbahagialah suatu masyarakat yang
mempunyai pemimpin yang mahir berpidato dan mahir menulis. Lebih berbahagia
lagi orang itu sendiri, yang berkumpul dalam dirinya kecakapan lisan dan
kemahiran tulisan. Lidah yang mahir serta pena yang lancar serta tangkas dapat
dipergunakan untuk berbakti pada agama dan bangsanya, melakukan amar ma’ruf
dan nahi munkar, menyebarkan kebenaran.[13]
Dalam ranah tabligh yaitu
dakwah bi al-lisan seorang da’i melakukan dakwahnya melalui
ekspresi pemikiran yang berdasarkan pada sumber rujukan dakwah berupa Al-Quran
dan As-Sunnah secara langsung atau pun tidak langsung terhadap mad’unya.
Fenomena sosial aktual dan realitas yang terjadi menjadi hal yang selalu harus
digeluti oleh seorang mubaligh. Melihat tabligh sebagai upaya
untuk memodifikasi realitas sosial yang tidak Islami kepada nilai ajaran Allah SWT,
maka tabligh memiliki arti yang sangat dominan dalam kehidupan manusia.
Kini, banyak mubaligh yang
dengan intens melaksanakan kegiatan tabligh sebagai salah satu
metode dakwah. Setiap momentum dimanfaatkan untuk menyebarkan shibghah
Islam kepada umat. Para khatib Jum’at misalnya, menyampaikan materi keimananan
dan keislaman yang beragam dalam setiap khutbahnya. Pondok pesantren terus
mengajari santri tentang ilmu Islam. Bahkan berbagai media informasi juga
dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai Islam.
Para mubaligh sebaiknya jangan sampai
lebih senang mengumpulkan banyak santri dan membangun pesantren yang megah
daripada membuat karya yang bisa menjadi rujukan para pengikutnya sepanjang
masa. Kini, marak terjadi ketika seorang kiyai pimpinan sebuah pesantren
meninggal dunia, maka berakhir pula dakwahnya karena beliau tidak memiliki
karya tulis yang bisa terus membimbing pengikutnya. Karena Islam tidak lepas
dari sumber rujukan berupa kitab-kitab yang merupakan hasil karya para ulama
pendahulu, maka sejatinya kita mesti menyuburkan budaya menulis untuk
membimbing umat menuju cahaya Islam. Pemikiran-pemikiran dakwah tidak hanya
disebarkan secara lisan yang terbatas jangkauan dan usianya, tapi juga dalam
bentuk tulisan yang lebih luas jangkauannya dan lebih panjang umurnya. Adanya
Surat aal-Qalam dan perintah membaca (Iqra’) dalam Kitab Suci Al-Quran
menjelaskan betapa pentingnya arti dan fungsi tulisan dan bacaan bagi manusia
Islam[14].
Dakwah dengan tulisan
masih menjadi tantangan untuk para da’i, tulisan dianggap menjadi metode
dan media yang lebih kuat bertahan dibandingkan dakwah dengan lisan. Bukan
berarti dakwah dengan lisan harus ditinggalkan, namun sebaliknya, kita tinggal
melangkah satu langkah untuk menulis konsep dakwah yang akan disampaikan dengan
lisan ke dalam sebuah tulisan, dengan begitu kita sudah mendapatkan dua media,
dengan lisan dan tulisan.
Al-Quran sebagai kitab dakwah
diperintahkan oleh Rasulullah SAW, untuk ditulis meski di atas pelepah daun
kurma, tulang-belulang, dan media lainnya. Pada saat banyak penghapal Al-Quran
gugur di medan jihad, maka Umar ibn Khattab berpendapat bahwa Al-Quran
harus segera dibukukan agar umat tidak kehilangan kitab petunjuk kehidupannya. Akhirnya
Al-Quran dibukukan secara utuh pada masa khalifah Utsman bin Affan RA, dengan
membentuk tim pembukuan Al-Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit RA.
Sehingga Al-Quran tetap terjaga keasliannya sepanjang masa.
Berbeda dengan Al-Quran, hadits baru
dibukukan selepas masa khulafaurrasyidin yaitu masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Sepeninggal Rasulullah banyak yang membuat hadits palsu (maudzu)
yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari hadits shahih. Atas jasa para
ulama hadits, seperti Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasai,
Al-Turmudzi dan lainnya yang
mengumpulkan dan mengelompokkan hadits dan membukukannya, kini umat bisa
mengetahui mana hadits yang shahih dan tidak.
Ditambah lagi gairah berkarya para
ulama terdahulu dengan dilahirkannya kitab-kitab fiqh, hadits, tafsir, serta
ilmu-ilmu Islam lainnya, kini umat Islam bisa menikmati cahaya petunjuk Islam.
Meski kita tidak berjumpa dengan Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’i
al-tabi’in, para ulama mataqoddimin juga para ulama kontemporer yang
telah wafat, tapi dengan adanya kitab-kitab karya mereka kita bisa mempelajari
dan mengikuti pemikiran dan dakwah mereka.
Kurangnya model tulisan dakwah menjadi
permasalahan yang sangat penting bagi para mubaligh
yang ingin berdakwah melalui tulisan. Penggunaan bahasa tulisan tidak sama
dengan bahasa tutur dalam berdakwah. Contoh atau model tulisan dakwah yang
memiliki kualitas yang baik sangat dibutuhkan sebagai rujukan bagi pada mubaligh. Pemilihan sasaran pembaca
merupakan hal yang harus diperhatikan, karena akan menentukan model tulisan
dakwah yang dibuat. Pemilihan bahasa, struktur dan komponen kebahasaan yang
tepat juga menentukan kualitas tulisan dakwah.
[1] Lihat QS. Ali Imran ayat 19, artinya: “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
[2] Azyumardi Azra, Pergolakan
Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. i.
[3] Didin Hafidhuddin, Dakwah
Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 64.
[4] Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Alma’arif,
1973), hlm. 103.
[5] Azyumardi Azra, loc.cit.,
[6] Ibid., hlm. 106.
[7] Ibid., hlm. 106-107.
[8] Didin
Hafidhuddin, op.cit., hlm. 67-68.
[9] Ibid.,
hlm. 72.
[10] Agus Ahmad
Safei, Memimpin Dengan Hati yang Selesai, (Bandung: Pustaka Setia,
2003), hlm. 118-119
[11] Ibid.,
hlm. 172.
[12] Ahmad
Bahjat, Akulah Tuhanmu, Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 228.
[13] Isa Anshary, Mujahid Dakwah, (Bandung:
Dipenogoro, 1995), cet V. hlm. 36.
[14] Ibid., hlm. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar